Polusi Asap Sumatera 2013 dan Kebijakan Pemerintah
Tentang Lingkungan
Pada
bulan Juni 2013, terjadi peristiwa kabut asap akibat polusi udara yang
menyelimuti pemberitaan-pemberitaan regional Asia Tenggara. Kabut ini terjadi
di cakupan wilayah Indonesia, Malaysia dan Singapura. Menurut pusat pengelolaan
ekoregion sumatera kementerian lingkungan, indeks standar pencemaran udara telah
merangkak naik menjadi nilai yang berbahaya. Kedekatan letak geografis antara
kedua negara tersebut dengan Indonesia (yang dianggap sebagai pusat pengirim
kabut asap) menyebabkan dinamika cuaca yang berimplikasi pada satu negara
dengan negara lainya. Dikutip Phys, pada senin (17 Juni) penyebab meningkatnya
tingkat polusi udara adalah kabut hasil pembakaran hutan di Indonesia oleh
pihak-pihak yang mengadakan pembukaan lahan. Pembukaan lahan ini berlokasi di
beberapa tempat di Riau dan sekitarnya berada di lahan gambut yang berada di
luar kawasan hutan dengan vegetasi semak belukar, sawit dan karet. Kemudian
asap itu dalam skala yang besar intensitasnya, terbawa oleh dinamika angin
monsoon Malaysia. Kabut asap tersebut juga ada kaitannya dengan adanya gangguan
atmosfer berupa tekanan rendah atau siklon tropis. Siklon tropis tersebut juga
megakibatkan tertarinya massa uap air dari Indonesia kearah filiphina dengan
lebih kencang dari biasanya dan membawa asap melalui singapura. Ditambah lagi
dengan keadaan pembebasan lahan dengan membakar vegetasi di Riau
Secara umum, dampak kabut asap dapat
diukur dalam ambang batas tingkat polusi udara. Normalnya, indeks standar
pencemaran udara (selanjutnya disingkat ISPU) adalah sebesar 101-200. Namun,
ISPU yang tercatat di beberapa titik di Riau hingga tanggal 21 Juni 2013,
menunjukkan angka hingga 650 PSI. indeks pencemaran ini sudah jauh diatas
ambang tolerir yaitu sebesar 300 PSI.
Pemerintah
ketiga negara langsung menyiapkan langkah-langkah terkait peristiwa ini.
Pemerintah Singapura misalnya, langsung bereaksi dengan menjalankan rencana
menggunakan citra satelit untuk mengidentifikasi perusahaan yang terlibat dalam
pembakaran lahan di pulau sumatera. Menurut pemerintah singapura, semenanjung
Malaysia telah terganggu selama puluhan tahun oleh kebakaran hutan di Sumatera
bagian barat dan Kalimantan. Pemerintah Malaysia menyatakan darurat atas 2
distrik di negara bagian Johor hingga melampaui 750 PSI (menurut kutipan
Menteri Sumber Daya Alam dan Lingkungan Malaysia, G. Palanivel via Facebook)
dan menginstruksikan sekolah agar diliburkan dan menyarankan warga agar tetap
tinggal dirumah dan menggunakan masker. Di Indonesia sendiri Menteri Lingkungan
Hidup, Balthasar Kambuaya, menyebut delapan perusahaan Indonesia yang dituduh
bertanggung jawab atas pembakaran lahan kelapa sawit di Pulau Sumatera.
Industri Perenggut Keseimbangan
Lingkungan Udara di Sumatera
Pada intinya, menurut analisis
interaksi organisasi keruangan dalam kaitannya dengan penggunaan ruang, Sumatera
merupakan daerah dengan budaya shifting
Cultivation atau yang lebih dikenal sebagai “lahan berpindah” yang masih
kental terasa. Petani membuka lahan baru dengan cara membakar lahan yang telah
digarap sebelumnya sehingga dapat digunakan lagi untuk bercocok tanam seiring
pergantian musim. Pembebasan lahan dalam skala besar dapat menyebabkan asap
dengan kuantitas yang amat intens dan berdampak pada kandungan udara.
Namun, faktanya di lapangan
ternyata bukan hanya tentang petani lingkup kecil Sumatera. Ternyata ada
pihak-pihak lain yang memegang peranan penting dibalik peristiwa ini.
Ironisnya, keberadaan mereka yang sedikit tersembunyi (hidden) membawa dampak yang buruk bagi lingkungan hidup di
Indonesia. Mereka ternyata adalah perusahaan asing yang berbasis di kedua
negara “pemrotes” dampak kabut asap, sebut saja Malaysia dan Singapura.
Di Indonesia, perusahaan
Singapura dan Malaysia yang memilik lahan cukup luas adalah Wilmar International Ltd dan Sime
Darby Berhad yang masing-masing mempunyai lahan seluas 186 ribu hectare (di
seluruh Indonesia) dan 78 ribu hectare di Sumatera. Namun saat dimintai
konfirmasi manajemen kedua perusahaan tersebut membantah terlibat dalam
pembakaran hutan. Menurut mereka, konsep zero-burning (anti pembakaran hutan)
melandasi setiap kegiatan perindustrian.
Dalam bukti lain, dari citra
satelit NOAA, Sebagian titik panas yang diduga sebagai peristiwa kebakaran
lahan berada di kawasan HTI dan perkebunan milik pemodal asing. Diantaranya PT
Langgam Inti Hibrida, PT Bumi Reksa Nusa Sejati, PT Tunggal Mitra Plantation,
PT Udaya Loh Dinawi, PT Abdi Plantation, PT Jati Jaya Perkasa, PT Multi Gambut
Industry dll, yang merupakan perusahaan milik pengusaha Malaysia. Selain itu PT
Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) juga terjadi kebakaran di kawasan hutan
tanam industrinya. RAPP memang merupakan perusahaan Indonesia, namun sebagian
sahamnya dimiliki oleh asing
Fakta mengejutkan lainnya yang
ikut memberikan bukti, LSM Lingkungan Greenpeace, mengakui perusahaan Singapura
dan Malaysia terlibat pembakaran hutan di pulau Sumaatera. Titik-titik api yang
muncul kebanyakan terletak di wilayah konsensi perusahaan asal kedua negara
tersebut.
Asap pekat, Jadi
salah siapa?
Dari bukti-bukti yang telah
dipaparkan oleh kenyataan yang ada, kebenaran menunjukkan posisi absolutnya.
Tidak dapat dipungkiri, petani Indonesia bukan merupakan faktor utama dari
peristiwa pencemaran udara ini namun industry “raksasa” mereka itulah yang
sebenarnya merupakan pemeran penting dalam mengusik keseimbangan lingkungan
hidup pulau Sumatera. Terutama kesehatan udara.
Indonesia, dengan bentangan alam
yang luas sangat optimum untuk banyak kegiatan. Dalam hal ini perkebunan.
Itulah mengapa, banyak investor-investor yang menanamkan modal asingnya disini.
Perusahaan perkebunan dan kehutanan ybermodal asing di Indonesia didominasi
oleh kepemilikan dari negara Malaysia dan Singapura. Ini beralasan karena letak
Indonesia secara konsep site dan situation yang lebih dekat dengan kedua negara tersebut.
Kemudahan akses transportasi (perhubungan laut,jalan dan udara) telah mengubah
sisi hubungan antar tiga negara serumpun ini, termasuk hubungan ekonomi
multilateral.
Birokrasi yang (tidak) efektif dan efisien
Indonesia sesungguhnya mempunyai
nilai-nilai kebangsaan yang nyaris sempurna dan tanpa cacat. Namun kelemahannya adalah implementasi
peraturan yang sangat tidak optimal di lapangan. Sesuai dengan peraturan
pemerintah RI nomor 6 tentang tata hutan
dan penyusunan rencana pengelolaan hutan serta pemanfaatan hutan di seluruh
wilayah Indonesia diterapkan konsep kelembagaan pengelolaan hutan dengan
wilayah pengelolaan hutan sesuai fungsi pokok dan peruntukkannya yang dapat
dikelola secara efisien dan lestari untuk menjamin kelestarian sumberdaya
hutan.
Permasalahan bidang kehutanan
mempunyai sensitifitas yang sangat tinggi, baik di tingkat local, regional,
nasional maupun dunia internasional. Dengan sangat tingginya perhatian multi
pihak terhadap pengelolaan lahan maka
apabila terjadi “miss management” dan “conflict of interest”. Bisa menimbulkan
pro dan kontra dari berbagai pihak untuk itu diperlukan pengelolaan lahan hutan
industry yang professional.
Selain itu karena tersedianya
otonomi daerah dari pemerintah pusat ke daerah menyebabkan pemerintah daerah
secara penuh berkuasa dalam mengatur daerahnya. Namun kecakapan dalam managemen
wilayah yang belum terbentuk dapat pula memperburuk keadaan. Mengejar target
APBD yang tinggi demi menaikkan gengsi daerah namun bertindak “beringas”
terhadap lingkungan. Misalnya saja, memberikan izin secara mudahnya oleh
perusahaan asing bermodal besar namun tidak melandaskan keseimbangan lingkungan
dalam setiap kegiatannya. Kemudian ketidaktegasan pemerintah dalam menjalankan
kewajibannya seperti menindak tegas rehabilitasi lahan yang seharusnya memang
dilaksanakan oleh setiap perusahaan perkebunan, membangun keseimbangan
lingkungan yang berkelajutan dari tiap-tiap peusahaan. Karena sesungguhnya
pemerintah merupakan pengatur dari seluruh sistem yang ada. Bukan malah menjadi
“pesuruh dan tangan kanan” perusahaan tersebut. Selama ini, banyak Perusahaan
asing yang “bandel” hanya membayar
sejumlah uang yang minta oleh pemerintah dalam tujuan pembangunan lingkungan,
namun uang tersebut tidak dioptimalkan secara baik dan perusahaan tidak
bertanggung jawab dan lepas tangan secara moral dan hanya menitik beratkan
kepada tanggung jawab material.
Loss
control yang
dilakukan pemerintah pusat juga berdampak buruk bagi situasi dan kondisi daerah
yang terkena pencemaran. Pemerintah pusat terkadang bersikap sangat
terkonsentrasi terhadap isu-isu yang otoritas kepentingannya lebih kecil
daripada masalah lingkungan yang dampaknya bisa sangat besar. Inilah juga yang
dicurigai sebagai kesempatan empuk bagi para investror asing yang mempunyai
sifat merugikan bagi Indonesia.
Ironisnya lagi, terdapat fakta
yang menunjukkan bahwa mereka (pihak pemerintah Malaysia dan Singapura)
bereaksi keras terhadap pemerintah Indonesia agar bertindak cepat menanggulangi
kasus yang terjadi di Sumatera. Lalu, kemana peran mereka sebagai aktor utama?
Untungnya menteri lingkungan hidup tidak serta-merta “mengikuti” instruksi
kedua negara tersebut, namun balik memberikan bukti bahwa mereka ternyata
mempunyai peranan penting dalam peristiwa ini. Sekarang tinggal bagaimana
pemerintah Indonesia menunjukkan supremasi kedudukannya dalam wilayahnya
sendiri. Apakah keadilan akan terus menunjukkan keberadaannya? Semoga saja.
Peran saintis dalam peristiwa polusi udara Sumatera
2013
Indonesia sebenarnya masih punya
sumber daya manusia yang baik dalam memecahkan kasus ini, yakni Saintis.
Bagaimana sebuah permasalahan kompleks yang tidak hanya menyangkut permasalahan
sosial (kerugian besar secara ekonomi akibat polusi udara, jatuhnya nilai saham
akibat hasil hutan yang tidak optimal, konflik daerah) namun juga permasalahan
yang sifatnya alami (dunia kesehatan seperti penyakit, dunia pertanian seperti
hilangnya kadar kesuburan tanah, dan dinamika cuaca yang makin semerawut akibat
ulah manusia). Bagaimana saintis dengan perspektif holistic/ menyeluruh yang
dapat digunakan dalam menyelesaikan masalah yang terjadi.
Saintis
sebenarnya tidak hanya diartikan sebagai kaum yang “hanya bisa menghitung cepat
rumus”, “penghafal metode-metode baku”, “tidak aplikatif” dan anggapan
menyebalkan lain yang tertanam kuat dalam profesi saintis. Tapi, lebih dari
itu, saintis sebenarnya merupakan salah satu profesi mulia, dimana karena
kemurnian ilmunya mereka memperbaiki setiap system-sistem yang ada secara
mendasar. Banyak yang lebih percaya oleh pembangunan atau perbaikan secara
teknis dan instan yang sifatnya aplikatif. Tidak dari dasarnya. Itulah yang
menyebabkan ilmu dasar sains sangat dipandang sebelah mata.
Kalau dilihat dari ilmu geografi
sebagai ilmu dasar yang mempelajari permukaan bumi dengan segala faktor-faktor
pembentuk dan system keruangan manusia, kita tidak bisa sembarangan melakukan
tindakan mengejar keuntungan ekonomi dengan sumber daya kehutanan yang secara
hitung-hitungan aplikatif sangat menguntungkan bagi investor namun bagaimana
penggunaan ruang dioptimalkan demi seluruh system yang berjalan baik. Semua
komponen harus dipikirkan baik-baik dan secara menyeluruh. Tidak serampangan.
Dinamika cuaca yang harus “dikembalikan” menjadi stabilitas awal, pendayagunaan
penduduk yang terkena dampak, perubahan penggunaan lahan yang berimplikasi
luas, dll. Itu termasuk sitem dari organisasi keruangan.
Bagaimana dengan penyikapan
peristiwa polusi ini dari ilmu lain. fisika, matematika, biologi dan kimia?
Mereka pasti punya perspektif lain yang tentunya tidak kalah amat
mencengangkan. Ada banyak solusi yang dapat
ditawarkan oleh kaum saintis dalam menanggulangi peristiwa polusi ini, misalnya
saja pengenalan lingkungan hidup untuk para generasi muda, penyadaran secara
kontinu tentang pemberhentian kerusakan lingkungan, perawatan kekayaan hayati
(termasuk kekayaan alam seperti vegetasi, flora dan fauna). Tidak hanya
bersifat pasca-bencana, namun juga bersifat pencegahan (pra-bencana)
Ketika harapan itu masih akan selalu ada
Kepercayaan
pemerintah terhadap kaum saintis, terutama saintis muda menunjukkan kabar
positif. Banyaknya program-program yang didanai, menyulut semangat kaum muda
untuk terus berkarya dalam dunia sains. Selain itu berbagai penghargaan dari
pemerintah yang diterima kaum saintis juga membawa angin kesejukan bagi
kemajuan dunia saintis.
Saintis
muda Indonesia sebagai penerus generasi bangsa sudah sepatutnya diberi tempat
yang tinggi oleh pemerintah untuk kemajuan bangsa. Tidak hanya dipandang
sebagai kaum pembelajar, namun juga sebagai kaum pemecah masalah. Melalui essai
ini pun, saya amat tersulut untuk membangun Indonesia, dan percaya diri
menyandang profesi saintis nantinya. semoga saja dengan fakta-fakta positif
yang telah ada, dapat mewujudkan masa depan Indonesia yang jauh lebih baik.
(Maharani Putri, Geo 2011)
Situs
Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Barat (dishut.sumbarprov.go.id)
Republika Online. Kiriman asap dari Indonesia timbul polusi
terburuk di singapura (m.republika.co.id/...html)
Kanal berita Suara Merdeka. Malaysia darurat kabut asap
(m.suaramerdeka.com/....html)
Kanal berita antaranews. Titik api berasal dari hutan tanaman
industri (m.antaranews.com/berita/....html)
(UPTD kesehatan
ppesumatera.menlh.go.id)
Kanal berita BBC Indonesia, kabut
asap, perusahaan diinventarisasi (m.bbc.co.uk/Indonesia/2013/...html)
Kanal berita Viva
(us.m.news.viva.co.id/news....html)
Kanal berita okezone (m.okezone.com/read/2013/....html)