Tuesday, 20 August 2013

KRITISASI KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP INDUSTRI PENYEBAB POLUSI ASAP SUMATERA DARI SUDUT PANDANG DINAMIKA CUACA DAN GEOGRAFIS

Polusi Asap Sumatera 2013 dan Kebijakan Pemerintah Tentang Lingkungan

Pada bulan Juni 2013, terjadi peristiwa kabut asap akibat polusi udara yang menyelimuti pemberitaan-pemberitaan regional Asia Tenggara. Kabut ini terjadi di cakupan wilayah Indonesia, Malaysia dan Singapura. Menurut pusat pengelolaan ekoregion sumatera kementerian lingkungan, indeks standar pencemaran udara telah merangkak naik menjadi nilai yang berbahaya. Kedekatan letak geografis antara kedua negara tersebut dengan Indonesia (yang dianggap sebagai pusat pengirim kabut asap) menyebabkan dinamika cuaca yang berimplikasi pada satu negara dengan negara lainya. Dikutip Phys, pada senin (17 Juni) penyebab meningkatnya tingkat polusi udara adalah kabut hasil pembakaran hutan di Indonesia oleh pihak-pihak yang mengadakan pembukaan lahan. Pembukaan lahan ini berlokasi di beberapa tempat di Riau dan sekitarnya berada di lahan gambut yang berada di luar kawasan hutan dengan vegetasi semak belukar, sawit dan karet. Kemudian asap itu dalam skala yang besar intensitasnya, terbawa oleh dinamika angin monsoon Malaysia. Kabut asap tersebut juga ada kaitannya dengan adanya gangguan atmosfer berupa tekanan rendah atau siklon tropis. Siklon tropis tersebut juga megakibatkan tertarinya massa uap air dari Indonesia kearah filiphina dengan lebih kencang dari biasanya dan membawa asap melalui singapura. Ditambah lagi dengan keadaan pembebasan lahan dengan membakar vegetasi di Riau
Secara umum, dampak kabut asap dapat diukur dalam ambang batas tingkat polusi udara. Normalnya, indeks standar pencemaran udara (selanjutnya disingkat ISPU) adalah sebesar 101-200. Namun, ISPU yang tercatat di beberapa titik di Riau hingga tanggal 21 Juni 2013, menunjukkan angka hingga 650 PSI. indeks pencemaran ini sudah jauh diatas ambang tolerir yaitu sebesar 300 PSI.
Pemerintah ketiga negara langsung menyiapkan langkah-langkah terkait peristiwa ini. Pemerintah Singapura misalnya, langsung bereaksi dengan menjalankan rencana menggunakan citra satelit untuk mengidentifikasi perusahaan yang terlibat dalam pembakaran lahan di pulau sumatera. Menurut pemerintah singapura, semenanjung Malaysia telah terganggu selama puluhan tahun oleh kebakaran hutan di Sumatera bagian barat dan Kalimantan. Pemerintah Malaysia menyatakan darurat atas 2 distrik di negara bagian Johor hingga melampaui 750 PSI (menurut kutipan Menteri Sumber Daya Alam dan Lingkungan Malaysia, G. Palanivel via Facebook) dan menginstruksikan sekolah agar diliburkan dan menyarankan warga agar tetap tinggal dirumah dan menggunakan masker. Di Indonesia sendiri Menteri Lingkungan Hidup, Balthasar Kambuaya, menyebut delapan perusahaan Indonesia yang dituduh bertanggung jawab atas pembakaran lahan kelapa sawit di Pulau Sumatera.

Industri Perenggut Keseimbangan Lingkungan Udara di Sumatera

Pada intinya, menurut analisis interaksi organisasi keruangan dalam kaitannya dengan penggunaan ruang, Sumatera merupakan daerah dengan budaya shifting Cultivation atau yang lebih dikenal sebagai “lahan berpindah” yang masih kental terasa. Petani membuka lahan baru dengan cara membakar lahan yang telah digarap sebelumnya sehingga dapat digunakan lagi untuk bercocok tanam seiring pergantian musim. Pembebasan lahan dalam skala besar dapat menyebabkan asap dengan kuantitas yang amat intens dan berdampak pada kandungan udara.

Namun, faktanya di lapangan ternyata bukan hanya tentang petani lingkup kecil Sumatera. Ternyata ada pihak-pihak lain yang memegang peranan penting dibalik peristiwa ini. Ironisnya, keberadaan mereka yang sedikit tersembunyi (hidden) membawa dampak yang buruk bagi lingkungan hidup di Indonesia. Mereka ternyata adalah perusahaan asing yang berbasis di kedua negara “pemrotes” dampak kabut asap, sebut saja Malaysia dan Singapura.

Di Indonesia, perusahaan Singapura dan Malaysia yang memilik lahan cukup luas  adalah Wilmar International Ltd dan Sime Darby Berhad yang masing-masing mempunyai lahan seluas 186 ribu hectare (di seluruh Indonesia) dan 78 ribu hectare di Sumatera. Namun saat dimintai konfirmasi manajemen kedua perusahaan tersebut membantah terlibat dalam pembakaran hutan. Menurut mereka, konsep zero-burning (anti pembakaran hutan) melandasi setiap kegiatan perindustrian.

Dalam bukti lain, dari citra satelit NOAA, Sebagian titik panas yang diduga sebagai peristiwa kebakaran lahan berada di kawasan HTI dan perkebunan milik pemodal asing. Diantaranya PT Langgam Inti Hibrida, PT Bumi Reksa Nusa Sejati, PT Tunggal Mitra Plantation, PT Udaya Loh Dinawi, PT Abdi Plantation, PT Jati Jaya Perkasa, PT Multi Gambut Industry dll, yang merupakan perusahaan milik pengusaha Malaysia. Selain itu PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) juga terjadi kebakaran di kawasan hutan tanam industrinya. RAPP memang merupakan perusahaan Indonesia, namun sebagian sahamnya dimiliki oleh asing
Fakta mengejutkan lainnya yang ikut memberikan bukti, LSM Lingkungan Greenpeace, mengakui perusahaan Singapura dan Malaysia terlibat pembakaran hutan di pulau Sumaatera. Titik-titik api yang muncul kebanyakan terletak di wilayah konsensi perusahaan asal kedua negara tersebut.

Asap pekat, Jadi salah siapa?

Dari bukti-bukti yang telah dipaparkan oleh kenyataan yang ada, kebenaran menunjukkan posisi absolutnya. Tidak dapat dipungkiri, petani Indonesia bukan merupakan faktor utama dari peristiwa pencemaran udara ini namun industry “raksasa” mereka itulah yang sebenarnya merupakan pemeran penting dalam mengusik keseimbangan lingkungan hidup pulau Sumatera. Terutama kesehatan udara.

Indonesia, dengan bentangan alam yang luas sangat optimum untuk banyak kegiatan. Dalam hal ini perkebunan. Itulah mengapa, banyak investor-investor yang menanamkan modal asingnya disini. Perusahaan perkebunan dan kehutanan ybermodal asing di Indonesia didominasi oleh kepemilikan dari negara Malaysia dan Singapura. Ini beralasan karena letak Indonesia secara konsep site dan  situation  yang lebih dekat dengan kedua negara tersebut. Kemudahan akses transportasi (perhubungan laut,jalan dan udara) telah mengubah sisi hubungan antar tiga negara serumpun ini, termasuk hubungan ekonomi multilateral.

Birokrasi yang (tidak) efektif dan efisien

Indonesia sesungguhnya mempunyai nilai-nilai kebangsaan yang nyaris sempurna dan tanpa cacat.  Namun kelemahannya adalah implementasi peraturan yang sangat tidak optimal di lapangan. Sesuai dengan peraturan pemerintah RI nomor  6 tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan serta pemanfaatan hutan di seluruh wilayah Indonesia diterapkan konsep kelembagaan pengelolaan hutan dengan wilayah pengelolaan hutan sesuai fungsi pokok dan peruntukkannya yang dapat dikelola secara efisien dan lestari untuk menjamin kelestarian sumberdaya hutan.

Permasalahan bidang kehutanan mempunyai sensitifitas yang sangat tinggi, baik di tingkat local, regional, nasional maupun dunia internasional. Dengan sangat tingginya perhatian multi pihak terhadap pengelolaan  lahan maka apabila terjadi “miss management” dan “conflict of interest”. Bisa menimbulkan pro dan kontra dari berbagai pihak untuk itu diperlukan pengelolaan lahan hutan industry yang professional.

Selain itu karena tersedianya otonomi daerah dari pemerintah pusat ke daerah menyebabkan pemerintah daerah secara penuh berkuasa dalam mengatur daerahnya. Namun kecakapan dalam managemen wilayah yang belum terbentuk dapat pula memperburuk keadaan. Mengejar target APBD yang tinggi demi menaikkan gengsi daerah namun bertindak “beringas” terhadap lingkungan. Misalnya saja, memberikan izin secara mudahnya oleh perusahaan asing bermodal besar namun tidak melandaskan keseimbangan lingkungan dalam setiap kegiatannya. Kemudian ketidaktegasan pemerintah dalam menjalankan kewajibannya seperti menindak tegas rehabilitasi lahan yang seharusnya memang dilaksanakan oleh setiap perusahaan perkebunan, membangun keseimbangan lingkungan yang berkelajutan dari tiap-tiap peusahaan. Karena sesungguhnya pemerintah merupakan pengatur dari seluruh sistem yang ada. Bukan malah menjadi “pesuruh dan tangan kanan” perusahaan tersebut. Selama ini, banyak Perusahaan asing yang  “bandel” hanya membayar sejumlah uang yang minta oleh pemerintah dalam tujuan pembangunan lingkungan, namun uang tersebut tidak dioptimalkan secara baik dan perusahaan tidak bertanggung jawab dan lepas tangan secara moral dan hanya menitik beratkan kepada tanggung jawab material.

Loss control yang dilakukan pemerintah pusat juga berdampak buruk bagi situasi dan kondisi daerah yang terkena pencemaran. Pemerintah pusat terkadang bersikap sangat terkonsentrasi terhadap isu-isu yang otoritas kepentingannya lebih kecil daripada masalah lingkungan yang dampaknya bisa sangat besar. Inilah juga yang dicurigai sebagai kesempatan empuk bagi para investror asing yang mempunyai sifat merugikan bagi Indonesia.

Ironisnya lagi, terdapat fakta yang menunjukkan bahwa mereka (pihak pemerintah Malaysia dan Singapura) bereaksi keras terhadap pemerintah Indonesia agar bertindak cepat menanggulangi kasus yang terjadi di Sumatera. Lalu, kemana peran mereka sebagai aktor utama? Untungnya menteri lingkungan hidup tidak serta-merta “mengikuti” instruksi kedua negara tersebut, namun balik memberikan bukti bahwa mereka ternyata mempunyai peranan penting dalam peristiwa ini. Sekarang tinggal bagaimana pemerintah Indonesia menunjukkan supremasi kedudukannya dalam wilayahnya sendiri. Apakah keadilan akan terus menunjukkan keberadaannya? Semoga saja.

Peran saintis dalam peristiwa polusi udara Sumatera 2013

Indonesia sebenarnya masih punya sumber daya manusia yang baik dalam memecahkan kasus ini, yakni Saintis. Bagaimana sebuah permasalahan kompleks yang tidak hanya menyangkut permasalahan sosial (kerugian besar secara ekonomi akibat polusi udara, jatuhnya nilai saham akibat hasil hutan yang tidak optimal, konflik daerah) namun juga permasalahan yang sifatnya alami (dunia kesehatan seperti penyakit, dunia pertanian seperti hilangnya kadar kesuburan tanah, dan dinamika cuaca yang makin semerawut akibat ulah manusia). Bagaimana saintis dengan perspektif holistic/ menyeluruh yang dapat digunakan dalam menyelesaikan masalah yang terjadi.

Saintis sebenarnya tidak hanya diartikan sebagai kaum yang “hanya bisa menghitung cepat rumus”, “penghafal metode-metode baku”, “tidak aplikatif” dan anggapan menyebalkan lain yang tertanam kuat dalam profesi saintis. Tapi, lebih dari itu, saintis sebenarnya merupakan salah satu profesi mulia, dimana karena kemurnian ilmunya mereka memperbaiki setiap system-sistem yang ada secara mendasar. Banyak yang lebih percaya oleh pembangunan atau perbaikan secara teknis dan instan yang sifatnya aplikatif. Tidak dari dasarnya. Itulah yang menyebabkan ilmu dasar sains sangat dipandang sebelah mata.

Kalau dilihat dari ilmu geografi sebagai ilmu dasar yang mempelajari permukaan bumi dengan segala faktor-faktor pembentuk dan system keruangan manusia, kita tidak bisa sembarangan melakukan tindakan mengejar keuntungan ekonomi dengan sumber daya kehutanan yang secara hitung-hitungan aplikatif sangat menguntungkan bagi investor namun bagaimana penggunaan ruang dioptimalkan demi seluruh system yang berjalan baik. Semua komponen harus dipikirkan baik-baik dan secara menyeluruh. Tidak serampangan. Dinamika cuaca yang harus “dikembalikan” menjadi stabilitas awal, pendayagunaan penduduk yang terkena dampak, perubahan penggunaan lahan yang berimplikasi luas, dll. Itu termasuk sitem dari organisasi keruangan.

Bagaimana dengan penyikapan peristiwa polusi ini dari ilmu lain. fisika, matematika, biologi dan kimia? Mereka pasti punya perspektif lain yang tentunya tidak kalah amat mencengangkan. Ada banyak solusi yang dapat ditawarkan oleh kaum saintis dalam menanggulangi peristiwa polusi ini, misalnya saja pengenalan lingkungan hidup untuk para generasi muda, penyadaran secara kontinu tentang pemberhentian kerusakan lingkungan, perawatan kekayaan hayati (termasuk kekayaan alam seperti vegetasi, flora dan fauna). Tidak hanya bersifat pasca-bencana, namun juga bersifat pencegahan (pra-bencana)

Ketika harapan itu masih akan selalu ada

Kepercayaan pemerintah terhadap kaum saintis, terutama saintis muda menunjukkan kabar positif. Banyaknya program-program yang didanai, menyulut semangat kaum muda untuk terus berkarya dalam dunia sains. Selain itu berbagai penghargaan dari pemerintah yang diterima kaum saintis juga membawa angin kesejukan bagi kemajuan dunia saintis.

Saintis muda Indonesia sebagai penerus generasi bangsa sudah sepatutnya diberi tempat yang tinggi oleh pemerintah untuk kemajuan bangsa. Tidak hanya dipandang sebagai kaum pembelajar, namun juga sebagai kaum pemecah masalah. Melalui essai ini pun, saya amat tersulut untuk membangun Indonesia, dan percaya diri menyandang profesi saintis nantinya. semoga saja dengan fakta-fakta positif yang telah ada, dapat mewujudkan masa depan Indonesia yang jauh lebih baik.
(Maharani Putri, Geo 2011)

SUMBER REFERENSI

Situs Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Barat (dishut.sumbarprov.go.id)
Republika Online. Kiriman asap dari Indonesia timbul polusi terburuk di singapura (m.republika.co.id/...html)
Kanal berita Suara Merdeka. Malaysia darurat kabut asap (m.suaramerdeka.com/....html)
Kanal berita antaranews. Titik api berasal dari hutan tanaman industri (m.antaranews.com/berita/....html)
(UPTD kesehatan ppesumatera.menlh.go.id)
Kanal berita BBC Indonesia,  kabut asap, perusahaan diinventarisasi (m.bbc.co.uk/Indonesia/2013/...html)
Kanal berita Viva (us.m.news.viva.co.id/news....html)
Kanal berita okezone (m.okezone.com/read/2013/....html)


0 comments:

Post a Comment