Isu Kenaikan Harga BBM
Isu kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) selalu
menjadi sorotan masyarakat dan kerap kali menimbulkan banyak pergolakan. Selain
karena menyangkut hajat hidup orang banyak, isu kenaikan harga BBM ini selalu
diidentikan dengan unsur-unsur politis. Terhitung
sejak tahun 1980 sampai 2013, sejarah kenaikan Harga BBM Premium di Indonesia
terjadi sebanyak 9 kali. Sementara untuk penurunan Harga BBM Premium terjadi
sebanyak 3 kali. Masing- masing pada tahun 2000 Rp 1.550, Tahun 2008 Rp 5.500
dan Rp 5.000, serta tahun 2009 Rp 4.500. Selama 23 tahun terakhir harga
terendah BBM Premium adalah Rp 150 di tahun 1980 dan harga tertinggi Rp 6.000
di tahun 2008.[1]
Sejarah kenaikan harga BBM tersebut
selalu diiringi dengan ragam pro dan kontra dari berbagai kalangan masyarakat.
Masing-masing pihak yang berkepentingan saling melempar argumen dan membuat isu
semakin memanas di masyarakat. Kondisi ini sering kali menyebabkan harga BBM justru
lebih dahulu mengalami kenaikan sebelum benar-benar ada putusan dari pemerintah
dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Praktek-praktek kecurangan juga biasanya
turut mewarnai masa-masa peralihan harga BBM. Mulai dari penimbunan skala kecil
sampai penyelundupan BBM oplos menambah pelik persoalan energi bangsa ini.
Wacana kenaikan harga
BBM yang selalu muncul saat harga minyak mentah dunia meroket acap kali memicu banyak perdebatan. Atas nama
inflasi dan rakyat miskin, sejumlah kalangan, termasuk mayoritas anggota DPR,
menolak keras kenaikan harga BBM. Mereka khawatir, kenaikan harga BBM akan
memicu inflasi tinggi dan kemudian akan menyengsarakan rakyat miskin, melahirkan orang miskin
baru, mendorong pemutusan hubungan kerja (PHK), dan mengganggu stabilitas ekonomi
makro. Kenaikan harga BBM juga kerap mendorong aksi demonstrasi yang biasanya disusupi oleh
berbagai kepentingan politik. Hal ini pula yang terjadi ketika pada bulan April lalu pemerintah kembali mengeluarkan wacana kenaikan
harga BBM.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Darmin Nasution memprediksi, asumsi inflasi
2013 yang ditetapkan pemerintah sebesar 4,9% akan meleset karena belum
memasukkan dampak kenaikan tarif listrik.
Kenaikan tarif listrik sebesar 15% akan menyebabkan tambahan inflasi sebesar
0,25% hingga 0,3%.[2] Jika kemudian terjadi
kenaikan harga BBM, tentu jumlah inflasi tersebut akan semakin meningkat. Meskipun demikian Darmin mengatakan,
kenaikan harga BBM kemungkinan tidak dapat dihindari. Meski begitu, pemerintah
hendaknya menaikkan harga BBM secara bertahap dan konsisten.
Lonjakan konsumsi BBM
yang mencapai 18% dari total volume konsumsi yang dipatok, yakni sebesar 40 juta kiloliter menjadi salah satu alasan utama pemerintah
untuk menaikkan harga BBM. Untuk
menekan lonjakan tersebut pemerintah menekankan perlunya kenaikan harga, karena
jika jumlah konsumsi tidak ditekan, cadangan risiko volume konsumsi BBM bisa
mencapai Rp 24,6 triliun. Jika angka ini ditambah dengan subsidi BBM sebesar Rp
178 triliun, subsidi listrik Rp 65 triliun, dan cadangan risiko energi Rp 23
triliun, maka total beban subsidi yang ditanggung negara mencapai Rp 290,6
triliun, atau sebanding dengan 20 persen dari anggaran negara.[3]
Kondisi Energi Indonesia
Selama ini kita selalu yakin bahwa bangsa ini adalah
bangsa yang kaya akan sumber daya alam. Di bidang energi, asumsi ini membawa
kita pada pemahaman bahwa persediaan sumber daya minyak dan gas bumi di
Indonesia masih sangat berlimpah. Namun sebetulnya jika kita menilik lebih jauh
mengenai hal tersebut, sudah sepantasnya kita mulai menyingkirkan paradigma
seperti itu. Karena pada kenyataannya cadangan
minyak di Indonesia diproyeksikan akan habis dalam kurun waktu 10-15 tahun.[4] Kita mungkin masih bisa berusaha mencoba mencari sumber
energi lain di daerah-daerah yang selama ini belum banyak dieksplorasi, namun
yang perlu diketahui bahwa teknologi yang dibutuhkan untuk itu tentu tidak
mudah. Bahkan sistem penginderaan jauh menggunakan satelit saja tidak mampu
mendeteksi cadangan minyak di dalam bumi. Padahal untuk jenis sumber energi
geotermal kita bisa menggunakan teknologi tersebut.
Kesulitan yang
dialami bangsa Indonesia untuk menemukan sumber-sumber energi baru, tidak
dibarengi dengan upaya pembatasan jumlah konsumsi bahan bakar yang terus
meningkat setiap tahunnya. Konsumsi BBM untuk transportasi misalnya naik menjadi 45,1
juta kiloliter (KL) di tahun 2012 dari 41,2 juta KL di tahun 2011.[5] Hal ini tentu tidak
terlepas dari efek mudahnya akses masyarakat dalam mendapatkan kendaraan
pribadi. Tidak pernah ada pembatasan yang jelas untuk mengatur jumlah kendaraan
yang boleh dimiliki setiap warga negara di Indonesia. Seolah-olah polusi dan
hilangnya aset energi jangka panjang dibiarkan saja menguap bersama asap-asap
kendaraan bermotor.
Kajian Kementerian Energi
dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memperkirakan impor BBM pada tahun 2030 diproyeksikan sebesar 71,8%
dari total kebutuhan atau sekitar 2,5 kali lipat terhadap produksi BBM
nasional. Dengan konsisi seperti ini, pemerintah telah menyiapkan empat
skenario dalam memproyeksikan kebutuhan pembangunan kilang. Keempat skenario
tersebut meliputi skenario dasar (BaU), skenario proyek, skenario upgrading dan
skenario gabungan.
Skenario Dasar adalah skenario dengan mempertimbangkan kapasitas kilang
saat ini (existing) tanpa melakukan penambahan kapasitas. Skenario Proyek adalah skenario dengan
mempertimbangkan kilang existing dan kilang proyek (proyek Kilang Banten
dan Kilang Tuban dengan kapasitas masing-masing 300 MBSD). Skenario Upgrading adalah
skenario dengan mempertimbangkan kilang existing, kilang proyek (Kilang
Banten dan Kilang Tuban) dan beberapa proyek kilang upgrading (Kilang
Balikpapan sebesar 50 MBSD dan Kilang Cilacap sebesar 62 MBSD). Skenario Gabungan mempertimbangkan kapasitas kilang existing, pembangunan
proyek Kilang Banten dan Tuban, proyek kilang upgrading (Kilang
Balikpapan dan Kilang Cilacap) dan tambahan kilang minyak baru.[6]
Sayangnya keempat skenario tersebut saat ini masih belum
menemukan pemeran terbaiknya. Maka tinggalah mereka sebatas kajian yang
menunggu waktu untuk dieksekusi. Kita telah lama paham dan menemukan fakta
bahwa negara ini tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan energi minyaknya. Namun
tetap saja hingga detik ini aktivitas ekspor minyak terus dijalankan. Anggapan
bahwa kegiatan ekspor tersebut bisa meningkatkan jumlah pendapatan dalam
negeri, adalah sebuah keuntungan yang semu.
Kita menjual minyak
dalam negeri sementara kemudian kita juga mengimpor minyak dari luar negeri
dengan harga yang lebih mahal. Tentu ini tidak dapat dikatakan sebagai bentuk keuntungan. Meskipun hal tersebut merugikan kondisi dalam
negeri, kita tetap mempertahankan kegiatan ekspor minyak sampai saat ini.
Alasannya, tentu karena kapasitas kilang dalam negeri yang tidak memadai.
Disamping memang ada pihak-pihak tertentu yang sepertinya diuntungkan dengan praktek
ekspor impor seperti ini. Memasuki masa krisis energi seperti saat ini, banyak
pihak yang terus mendesar pemerintah untuk berbenah. Mulai dari usulan energi
alternatif, pembatasan jumlah kendaraan, sampai pembangunan kilang baru terus
disuarakan. Namun nampaknya benang kusut yang melilit sektor energi ini belum
juga menemukan ujungnya.
Sinergisasi yang Belum
Terbangun
Selama ini kita hanya saling tarik menarik argumen,
memaksa satu sama lain untuk mengerti bahwa kesulitan ini sulit dibenahi.
Pemerintah menarik rakyat dengan kebijakan yang justru membuat rakyat semakin
menjauh, enggan mengikuti aturan yang dinilai menyengsarakan mereka. Sebaliknya
rakyat menarik pemerintah untuk turun dalam tataran yang selama ini tidak
tersentuh oleh kajian-kajian mereka, tataran nurani rakyat yang selama ini merindukan
kepemimpinan yang lebih membumi.
Dalam soal subsidi
BBM, pemerintah menetapkan pemberian Bantuan Langsung Sementara Masyarakat
(BLSM) bagi kalangan masyarakat yang dinilai pantas mendapatkan subsidi
tersebut. Namun pada kenyataannya tidak sedikit uang-uang yang justru mengalir
pada golongan orang-orang mampu. Ironi memang, namun begitulah ketika
komunikasi tidak berjalan baik dari hulu ke hilir. Maksud pemberian bantuan
yang dinilai tidak mendidik ini bukan saja terkesan bias, namun memang perlu
dipertanyakan ulang.
Ketika rakyat menderita dalam krisis energi yang semakin
buruk pemerintah justru menawarkan obat yang sifatnya hanya sementara dan
justru membuat ketergantungan mereka semakin meningkat. Alih-alih membantu
meringankan penderitaan rakyat, justru rakyat semakin dirugikan dengan beban
hutang negara yang semakin besar jika kemudian dana BLSM tersebut diperoleh
dengan cara berhutang. Di tengah pertumbuhan jumlah penduduk yang mencapai
rata-rata 1,05% per tahun, kebutuhan akan energi tentu akan selalu berbanding
lurus dengan kenaikan tersebut. Dan pantaskah pemerintah hanya berhenti pada
usaha menaikan harga BBM dan menutup protes rakyat menggunakan BLSM ?
Di sisi lain dalam kondisi defisit minyak mentah untuk
kebutuhan dalam negeri seperti saat ini, pantaskah kita hanya berhenti pada
menyalahkan sistem pengelolaan yang sudah terjadi, sementara kita sampai detik
ini masih menghidup kendaraan-kendaraan mewah di garasi dengan BBM bersubsidi ?
Pengelolaan energi dalam negeri sampai detik ini masih membutuhkan banyak
pembenahan. Tapi kerusakan sistem ini tidak hanya terjadi di hulu atau hilir.
Oleh karena itu perlu reformasi kebijakan yang menyeluruh untuk menyelamatkan
energi bangsa ini.
Langkah Strategis Menyikapi
Kenaikan Harga
Sekarang ini, bukan lagi saatnya bagi kita untuk terus
terjebak dalam analisis fenomena kenaikan harga minyak dunia. Lebih dari itu,
seharusnya kita mulai memahami bahwa fenomena muncul dari sebuah akar masalah
yang lebih dalam dan mungkin belum terjawab dengan kebijakan yang selama ini
telah ditetapkan. Jika bisa menarik sebuah garis antara krisis yang terjadi dan
kapasitas dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan, ada dua perkara yang membuat
kedua hal tersebut memiliki gap yang
semakin besar, yakni konsumsi BBM yang semakin tinggi dan kebijakan yang belum
mampu membatasi hal tersebut.
Dengan logika sederhana, saya membuat dua kondisi yang
sebetulnya bisa dipilih untuk diciptakan. Pertama jika konsumsi BBM terus
meningkat, maka perlu ada kebijakan untuk membatasinya. Kedua jika tidak ada
kebijakan yang mampu membatasinya, maka persiapkan diri untuk memenuhi
kebutuhan BBM yang semakin tinggi. Maka mari berbicara solusi pada dua tataran
itu saja.
Saat
ini menurut data terakhir Korps Lalu Lintas
Kepolisian Republik Indonesia (Korlantas Polri), selama 2012, pertambahan
terbanyak adalah mobil pribadi dan sepeda motor, masing-masing 12 persen. Ada sekitar 94,229
juta unit [7] kendaraan di Indonesia yang setiap harinya berseliweran dengan
menghabiskan jutaan kiloliter bahan bakar. Data Menteri ESDM juga mengatakan
bahwa konsumsi bahan bakar minyak terbanyak berada di sektor transportasi. Oleh
karena itu kondisi seperti ini seharusnya tidak terus dibiarkan. Perlu ada
pembatasan yang dilakukan pemerintah agar penggunaan kendaraan bermotor bisa
dikurangi. Jika jumlah kendaraan bermotor berkurang, maka secara otomatis kita
bisa mengurangi jumlah BBM yang dikonsumsi.
Sekarang, jika kita
sudah mengerucutkan solusi dengan membatasi konsumsi energi lewat sektor
transportasi, maka kita perlu juga menentukan siapa yang kemudian perlu menjadi
objek pembatasan tersebut. Mengacu pada data
BPS tahun 2011 tentang jumlah kendaraan bermotor, diketahui bahwa lebih dari
70% dari jumlah kendaraan yang ada merupakan kendaraan pribadi. Hal ini
menandakan bahwa konsumsi BBM bersubsidi juga lebih banyak dinikmati oleh
kendaraan pribadi. Oleh karena itu jika kemudian pemerintah bermaksud untuk
menghemat dana APBN dengan menurunkan jumlah subsidi, semestinya pemerintah
mampu membuat kebijakan pembatasan kendaraan pribadi guna menekan angka
konsumsi BBM yang ada.
Namun yang perlu diperhatikan kembali
adalah keberadaan alat pemenuhan kebutuhan tidak bisa dihilangkan jika tidak
ada alat lain yang bisa menggantikannya. Oleh karena itu, jika pemerintah
menginginkan cara yang lebih cepat untuk menyelamatkan kondisi APBN, pemerintah
bisa memulainya dengan membatasi penggunaan BBM bersubsidi oleh kendaraan plat
hitam, atau dalam hal ini mobil pribadi. Karena jika terus berkutat pada solusi
menaikan harga, kita tidak sama saja membiarkan pemerintah berhenti pada
usahanya yang belum maksimal. Dan yang perlu diingat pula, menaikan harga BBM
adalah solusi tercepat untuk menyelamatkan APBN, dan dalam waktu yang sama
adalah solusi tercepat untuk menumbuhkan jumlah rakyat miskin dan kesengsaraan
rakyat. Dan kita masih terjebak pada paham ‘instanisme’.
Nisa Vidya Yuniarti
Geografi FMIPA UI 2011
[1] http://bisnis.liputan6.com/read/570683/cerita-dalam-angka-ohlala-bbm-mau-naik diakses pada
tanggal 4 Juni 2013 pukul 21.46
[2] http://www.kemenperin.go.id/artikel/4349/2013,-Kenaikan-BBM-Tak-Terelakan diakses pada tanggal 4 Juni 2013 pukul 22.43
[3] http://www.kemenperin.go.id/artikel/4349/2013,-Kenaikan-BBM-Tak-Terelakan diakses pada tanggal 4 Juni 2013 pukul 22.43
[5] http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/13/04/25/mlsym3-ini-penyebab-kuota-bbm-subsidi selalu-jebol-setiap-tahun diakses pada tanggal 10 Juni 2013 pukul 20.24
[7]http://otomotif.kompas.com/read/2013/02/26/6819/94.2.juta.Mobil.dan.Sepeda.Motor.Berseliweran.di.Jalanan.Indonesia diakses pada tanggal 10 Juni 2013 pukul 21.46
0 comments:
Post a Comment