Saturday, 17 August 2013

Instanisme

Isu Kenaikan Harga BBM
Isu kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) selalu menjadi sorotan masyarakat dan kerap kali menimbulkan banyak pergolakan. Selain karena menyangkut hajat hidup orang banyak, isu kenaikan harga BBM ini selalu diidentikan dengan unsur-unsur politis. Terhitung sejak tahun 1980 sampai 2013, sejarah kenaikan Harga BBM Premium di Indonesia terjadi sebanyak 9 kali. Sementara untuk penurunan Harga BBM Premium terjadi sebanyak 3 kali. Masing- masing pada tahun 2000 Rp 1.550, Tahun 2008 Rp 5.500 dan Rp 5.000, serta tahun 2009 Rp 4.500. Selama 23 tahun terakhir harga terendah BBM Premium adalah Rp 150 di tahun 1980 dan harga tertinggi Rp 6.000 di tahun 2008.[1]
Sejarah kenaikan harga BBM tersebut selalu diiringi dengan ragam pro dan kontra dari berbagai kalangan masyarakat. Masing-masing pihak yang berkepentingan saling melempar argumen dan membuat isu semakin memanas di masyarakat. Kondisi ini sering kali menyebabkan harga BBM justru lebih dahulu mengalami kenaikan sebelum benar-benar ada putusan dari pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Praktek-praktek kecurangan juga biasanya turut mewarnai masa-masa peralihan harga BBM. Mulai dari penimbunan skala kecil sampai penyelundupan BBM oplos menambah pelik persoalan energi bangsa ini.
Wacana kenaikan harga BBM yang selalu muncul saat harga minyak mentah dunia meroket acap kali memicu banyak perdebatan. Atas nama inflasi dan rakyat miskin, sejumlah kalangan, termasuk mayoritas anggota DPR, menolak keras kenaikan harga BBM. Mereka khawatir, kenaikan harga BBM akan memicu inflasi tinggi dan kemudian akan menyengsarakan rakyat miskin, melahirkan orang miskin baru, mendorong pemutusan hubungan kerja (PHK), dan mengganggu stabilitas ekonomi makro. Kenaikan harga BBM juga kerap mendorong aksi demonstrasi yang biasanya disusupi oleh berbagai kepentingan politik. Hal ini pula yang terjadi ketika pada bulan April lalu pemerintah kembali mengeluarkan wacana kenaikan harga BBM.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Darmin Nasution memprediksi, asumsi inflasi 2013 yang ditetapkan pemerintah sebesar 4,9% akan meleset karena belum memasukkan dampak kenaikan tarif listrik. Kenaikan tarif listrik sebesar 15% akan menyebabkan tambahan inflasi sebesar 0,25% hingga 0,3%.[2] Jika kemudian terjadi kenaikan harga BBM, tentu jumlah inflasi tersebut akan semakin meningkat. Meskipun demikian Darmin mengatakan, kenaikan harga BBM kemungkinan tidak dapat dihindari. Meski begitu, pemerintah hendaknya menaikkan harga BBM secara bertahap dan konsisten.
Lonjakan konsumsi BBM yang mencapai 18% dari total volume konsumsi yang dipatok, yakni sebesar 40 juta kiloliter menjadi salah satu alasan utama pemerintah untuk menaikkan harga BBM. Untuk menekan lonjakan tersebut pemerintah menekankan perlunya kenaikan harga, karena jika jumlah konsumsi tidak ditekan, cadangan risiko volume konsumsi BBM bisa mencapai Rp 24,6 triliun. Jika angka ini ditambah dengan subsidi BBM sebesar Rp 178 triliun, subsidi listrik Rp 65 triliun, dan cadangan risiko energi Rp 23 triliun, maka total beban subsidi yang ditanggung negara mencapai Rp 290,6 triliun, atau sebanding dengan 20 persen dari anggaran negara.[3]

Kondisi Energi Indonesia
Selama ini kita selalu yakin bahwa bangsa ini adalah bangsa yang kaya akan sumber daya alam. Di bidang energi, asumsi ini membawa kita pada pemahaman bahwa persediaan sumber daya minyak dan gas bumi di Indonesia masih sangat berlimpah. Namun sebetulnya jika kita menilik lebih jauh mengenai hal tersebut, sudah sepantasnya kita mulai menyingkirkan paradigma seperti itu. Karena pada kenyataannya  cadangan minyak di Indonesia diproyeksikan akan habis dalam kurun waktu 10-15 tahun.[4] Kita mungkin masih bisa berusaha mencoba mencari sumber energi lain di daerah-daerah yang selama ini belum banyak dieksplorasi, namun yang perlu diketahui bahwa teknologi yang dibutuhkan untuk itu tentu tidak mudah. Bahkan sistem penginderaan jauh menggunakan satelit saja tidak mampu mendeteksi cadangan minyak di dalam bumi. Padahal untuk jenis sumber energi geotermal kita bisa menggunakan teknologi tersebut.
Kesulitan yang dialami bangsa Indonesia untuk menemukan sumber-sumber energi baru, tidak dibarengi dengan upaya pembatasan jumlah konsumsi bahan bakar yang terus meningkat setiap tahunnya. Konsumsi BBM untuk transportasi misalnya naik menjadi 45,1 juta kiloliter (KL) di tahun 2012 dari 41,2 juta KL di tahun 2011.[5] Hal ini tentu tidak terlepas dari efek mudahnya akses masyarakat dalam mendapatkan kendaraan pribadi. Tidak pernah ada pembatasan yang jelas untuk mengatur jumlah kendaraan yang boleh dimiliki setiap warga negara di Indonesia. Seolah-olah polusi dan hilangnya aset energi jangka panjang dibiarkan saja menguap bersama asap-asap kendaraan bermotor.
Kajian Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memperkirakan impor BBM pada tahun 2030 diproyeksikan sebesar 71,8% dari total kebutuhan atau sekitar 2,5 kali lipat terhadap produksi BBM nasional. Dengan konsisi seperti ini, pemerintah telah menyiapkan empat skenario dalam memproyeksikan kebutuhan pembangunan kilang. Keempat skenario tersebut meliputi skenario dasar (BaU), skenario proyek, skenario upgrading dan skenario gabungan.
Skenario Dasar adalah skenario dengan mempertimbangkan kapasitas kilang saat ini (existing) tanpa melakukan penambahan kapasitas. Skenario Proyek adalah skenario dengan mempertimbangkan kilang existing dan kilang proyek (proyek Kilang Banten dan Kilang Tuban dengan kapasitas masing-masing 300 MBSD). Skenario Upgrading adalah skenario dengan mempertimbangkan kilang existing, kilang proyek (Kilang Banten dan Kilang Tuban) dan beberapa proyek kilang upgrading (Kilang Balikpapan sebesar 50 MBSD dan Kilang Cilacap sebesar 62 MBSD). Skenario Gabungan mempertimbangkan kapasitas kilang existing, pembangunan proyek Kilang Banten dan Tuban, proyek kilang upgrading (Kilang Balikpapan dan Kilang Cilacap) dan tambahan kilang minyak baru.[6]
Sayangnya keempat skenario tersebut saat ini masih belum menemukan pemeran terbaiknya. Maka tinggalah mereka sebatas kajian yang menunggu waktu untuk dieksekusi. Kita telah lama paham dan menemukan fakta bahwa negara ini tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan energi minyaknya. Namun tetap saja hingga detik ini aktivitas ekspor minyak terus dijalankan. Anggapan bahwa kegiatan ekspor tersebut bisa meningkatkan jumlah pendapatan dalam negeri, adalah sebuah keuntungan yang semu.
Kita menjual minyak dalam negeri sementara kemudian kita juga mengimpor minyak dari luar negeri dengan harga yang lebih mahal. Tentu ini tidak dapat dikatakan sebagai bentuk keuntungan. Meskipun hal tersebut merugikan kondisi dalam negeri, kita tetap mempertahankan kegiatan ekspor minyak sampai saat ini. Alasannya, tentu karena kapasitas kilang dalam negeri yang tidak memadai. Disamping memang ada pihak-pihak tertentu yang sepertinya diuntungkan dengan praktek ekspor impor seperti ini. Memasuki masa krisis energi seperti saat ini, banyak pihak yang terus mendesar pemerintah untuk berbenah. Mulai dari usulan energi alternatif, pembatasan jumlah kendaraan, sampai pembangunan kilang baru terus disuarakan. Namun nampaknya benang kusut yang melilit sektor energi ini belum juga menemukan ujungnya.

Sinergisasi yang Belum Terbangun
Selama ini kita hanya saling tarik menarik argumen, memaksa satu sama lain untuk mengerti bahwa kesulitan ini sulit dibenahi. Pemerintah menarik rakyat dengan kebijakan yang justru membuat rakyat semakin menjauh, enggan mengikuti aturan yang dinilai menyengsarakan mereka. Sebaliknya rakyat menarik pemerintah untuk turun dalam tataran yang selama ini tidak tersentuh oleh kajian-kajian mereka, tataran nurani rakyat yang selama ini merindukan kepemimpinan yang lebih membumi.
 Dalam soal subsidi BBM, pemerintah menetapkan pemberian Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) bagi kalangan masyarakat yang dinilai pantas mendapatkan subsidi tersebut. Namun pada kenyataannya tidak sedikit uang-uang yang justru mengalir pada golongan orang-orang mampu. Ironi memang, namun begitulah ketika komunikasi tidak berjalan baik dari hulu ke hilir. Maksud pemberian bantuan yang dinilai tidak mendidik ini bukan saja terkesan bias, namun memang perlu dipertanyakan ulang.
Ketika rakyat menderita dalam krisis energi yang semakin buruk pemerintah justru menawarkan obat yang sifatnya hanya sementara dan justru membuat ketergantungan mereka semakin meningkat. Alih-alih membantu meringankan penderitaan rakyat, justru rakyat semakin dirugikan dengan beban hutang negara yang semakin besar jika kemudian dana BLSM tersebut diperoleh dengan cara berhutang. Di tengah pertumbuhan jumlah penduduk yang mencapai rata-rata 1,05% per tahun, kebutuhan akan energi tentu akan selalu berbanding lurus dengan kenaikan tersebut. Dan pantaskah pemerintah hanya berhenti pada usaha menaikan harga BBM dan menutup protes rakyat menggunakan BLSM ?
Di sisi lain dalam kondisi defisit minyak mentah untuk kebutuhan dalam negeri seperti saat ini, pantaskah kita hanya berhenti pada menyalahkan sistem pengelolaan yang sudah terjadi, sementara kita sampai detik ini masih menghidup kendaraan-kendaraan mewah di garasi dengan BBM bersubsidi ? Pengelolaan energi dalam negeri sampai detik ini masih membutuhkan banyak pembenahan. Tapi kerusakan sistem ini tidak hanya terjadi di hulu atau hilir. Oleh karena itu perlu reformasi kebijakan yang menyeluruh untuk menyelamatkan energi bangsa ini.

Langkah Strategis Menyikapi Kenaikan Harga
Sekarang ini, bukan lagi saatnya bagi kita untuk terus terjebak dalam analisis fenomena kenaikan harga minyak dunia. Lebih dari itu, seharusnya kita mulai memahami bahwa fenomena muncul dari sebuah akar masalah yang lebih dalam dan mungkin belum terjawab dengan kebijakan yang selama ini telah ditetapkan. Jika bisa menarik sebuah garis antara krisis yang terjadi dan kapasitas dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan, ada dua perkara yang membuat kedua hal tersebut memiliki gap yang semakin besar, yakni konsumsi BBM yang semakin tinggi dan kebijakan yang belum mampu membatasi hal tersebut.
Dengan logika sederhana, saya membuat dua kondisi yang sebetulnya bisa dipilih untuk diciptakan. Pertama jika konsumsi BBM terus meningkat, maka perlu ada kebijakan untuk membatasinya. Kedua jika tidak ada kebijakan yang mampu membatasinya, maka persiapkan diri untuk memenuhi kebutuhan BBM yang semakin tinggi. Maka mari berbicara solusi pada dua tataran itu saja.
Saat ini menurut data terakhir Korps Lalu Lintas Kepolisian Republik Indonesia (Korlantas Polri), selama 2012, pertambahan terbanyak adalah mobil pribadi dan sepeda motor, masing-masing 12 persen.  Ada sekitar 94,229 juta unit [7] kendaraan di Indonesia yang setiap harinya berseliweran dengan menghabiskan jutaan kiloliter bahan bakar. Data Menteri ESDM juga mengatakan bahwa konsumsi bahan bakar minyak terbanyak berada di sektor transportasi. Oleh karena itu kondisi seperti ini seharusnya tidak terus dibiarkan. Perlu ada pembatasan yang dilakukan pemerintah agar penggunaan kendaraan bermotor bisa dikurangi. Jika jumlah kendaraan bermotor berkurang, maka secara otomatis kita bisa mengurangi jumlah BBM yang dikonsumsi. 
Sekarang, jika kita sudah mengerucutkan solusi dengan membatasi konsumsi energi lewat sektor transportasi, maka kita perlu juga menentukan siapa yang kemudian perlu menjadi objek pembatasan tersebut. Mengacu pada data BPS tahun 2011 tentang jumlah kendaraan bermotor, diketahui bahwa lebih dari 70% dari jumlah kendaraan yang ada merupakan kendaraan pribadi. Hal ini menandakan bahwa konsumsi BBM bersubsidi juga lebih banyak dinikmati oleh kendaraan pribadi. Oleh karena itu jika kemudian pemerintah bermaksud untuk menghemat dana APBN dengan menurunkan jumlah subsidi, semestinya pemerintah mampu membuat kebijakan pembatasan kendaraan pribadi guna menekan angka konsumsi BBM yang ada.
Namun yang perlu diperhatikan kembali adalah keberadaan alat pemenuhan kebutuhan tidak bisa dihilangkan jika tidak ada alat lain yang bisa menggantikannya. Oleh karena itu, jika pemerintah menginginkan cara yang lebih cepat untuk menyelamatkan kondisi APBN, pemerintah bisa memulainya dengan membatasi penggunaan BBM bersubsidi oleh kendaraan plat hitam, atau dalam hal ini mobil pribadi. Karena jika terus berkutat pada solusi menaikan harga, kita tidak sama saja membiarkan pemerintah berhenti pada usahanya yang belum maksimal. Dan yang perlu diingat pula, menaikan harga BBM adalah solusi tercepat untuk menyelamatkan APBN, dan dalam waktu yang sama adalah solusi tercepat untuk menumbuhkan jumlah rakyat miskin dan kesengsaraan rakyat. Dan kita masih terjebak pada paham ‘instanisme’.

Nisa Vidya Yuniarti
Geografi FMIPA UI 2011


[4] Kajian Tim Energi Bangsa BEM se-UI 2013
[6] Kementrian ESDM, Ringkasan Eksekutif Kajian Pengembangan Kilang di Indonesia ke Depan

0 comments:

Post a Comment