Kota menurut BPS merupakan suatu
wilayah administratif setingkat desa/kelurahan yang memenuhi persyaratan
tertentu dalam hal kepadatan penduduk, persentase rumah tangga pertanian, dan
sejumlah fasilitas perkotaan, seperti jalan raya, sarana pendidikan formal,
sarana kesehatan umum, dan sebagainya.[[1]] Menurut
UU No 22/1999 tentang Otonomi Daerah, kawasan perkotaan adalah kawasan yang
memiliki kegiatan utama non pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai
tempat pelayanan jasa pemerintah, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi. [[2]] Adapun
menurut Bintarto (1984), dari segi geografis kota diartikan sebagai sistem
jaringan kehidupan yang ditandai dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan
diwarnai dengan strata ekonomi yang heterogen dan bercorak materialistis.[[3]]
Di tahun 2012, jumlah penduduk Indonesia yang
tinggal di perkotaan telah mencapai 54 persen. Jika saat ini penduduk Indonesia
sudah lebih dari 240 juta, berarti paling sedikit ada 129, 6 juta orang yang
menyesaki kota.[[4]] Angka
ini mencitrakan kota sebagai wilayah yang selalu padat penduduknya. Menurut
Sensus Penduduk 2010, Provinsi DKI Jakarta merupakan provinsi yang paling padat
penduduknya, yaitu sebesar 14.440 orang per km².[[5]]
Kepadatan ini mengarah pada tingginya kegiatan ekonomi kota akibat besarnya
permintaan dan keanekaragaman topografi penduduk. Konsekuensinya adalah
penggunaan lahan kota yang didominasi untuk pembangunan permukiman,
gedung-gedung perkantoran, pasar, jalan, dan fasilitas lainnya. Dari sini akan
terbentuk pola spasial tertentu dan kerangka kota yang disebut struktur kota.
Ada beberapa teori yang melandasi struktur ruang
kota, yang paling dikenal adalah Teori Konsentris (Burgess, 1925), Teori
Sektoral (Hoyt, 1939), dan Teori Pusat Berganda (Harris dan Ullman, 1945).
Ketiga teori ini mengkaji bahwa kota memiliki pusat kota yang disebut Central Business District (CBD).[[6]]
Dalam teori konsentris, daerah pusat kegiatan
merupakan pusat kegiatan sosial, ekonomi, budaya dan politik dalam sesuatu kota
sehingga pada zona ini terdapat bangunan utama untuk kegiatan sosial ekonomi
budaya dan politik. Rute-rute transportasi dari segala penjuru memusat ke zona
ini sehingga zona ini merupakan zona dengan derajat aksesibilitas tinggi (The
Area of Dominance). [6]
Menurut teori sektoral, kunci
terhadap peletakan sektor ini terlihat pada
lokasi High Quality Area. Kecenderungan penduduk
untuk bertempat tinggal adalah daerah-daerah yang
dianggap nyaman dalam arti yang luas.
Nyaman dapat diartikan dengan kemudahan-kemudahan
terhadap fasilitas, kondisi lingkungan baik alami
maupun non alami yang bersih dari polusi
baik fisikal maupun non fisikal, prestise
yang tinggi karena dekat dengan tempat tinggal orang-orang
terpandang dan sebagainya. [6]
Teori
inti berganda (pusat kegiatan banyak) menggambarkan bahwa kota-kota besar akan
mempunyai struktur yang terbentuk atas sel-sel, dimana penggunaan
lahan yang berbeda-beda akan berkembang disekitar titik-titik pertumbuhan
atau Nuclei didalam daerah perkotaan. [6]
Teori
lainnya yang mendasari struktur ruang kota adalah Teori Ketinggian
Bangunan(Bergel, 1955), Teori Konsektoral (Griffin dan Ford, 1980), Teori
Historis (Alonso, 1964), dan Teori Poros (Babcock, 1960). Teori
ketinggian menyebutkan bahwa bangunan semakin tinggi aksesibilitas suatu ruang
maka ruang tersebut akan ditempati oleh fungsi yang paling kuat ekonominya.
Adapun teori konsentoral menyebutkan bahwa di daerah-daerah pinggiran masih
banyak tempat yang digunakan untuk kegiatan ekonomi, antara lain pasar lokal,
daerah-daerah pertokoan untuk golongan ekonomi lemah dan sebagian lain
dipergunakan untuk tempat tinggal sementara para imigran. Kota-kota dengan
struktur konsektoral dapat ditemui di Amerika Latin. Sedang menurut teori
historis, CBD merupakan pusat segala fasilitas kota dan merupakan daerah dengan
daya tarik tersendiri dan aksesibilitas yang tinggi. Teori poros
menitikberatkan pada peranan transportasi dalam mempengaruhi struktur keruangan
kota, sepanjang poros transportasi akan mengalami perkembangan lebih besar
dibanding zona di antaranya.[[7]]
Struktur kota di Indonesia sebagian besar merupakan
kota yang memiliki banyak pusat kegiatan ekonomi. Hal ini sesuai dengan teori
inti berganda dimana pusat
kota yang letaknya relatif di tengah-tengah sel-sel lainnya dan berfungsi
sebagai salah satu “growing points”. Zona ini menampung sebagian besar
kegiatan kota, berupa pusat fasilitas transportasi dan di dalamnya terdapat
distrik spesialisasi pelayanan, seperti “retailing” distrik khusus
perbankan, teater dan lain-lain.[6] Namun, ada perbedaan dengan dua
teori yang disebutkan di atas, yaitu bahwa pada Teori Pusat Berganda terdapat
banyak CBD dan letaknya tidak persis di tengah kota dan tidak selalu berbentuk
bundar. Fenomena ini dapat
dilihat di Kota Jakarta dimana distrik pusat kegiatan tersebar merata. -rt
[1]
“Definisi Klasifikasi Urban Rural” http://demografi.bps.go.id/phc4/index.php/persiapan/103-konsep-definisi-dan-klasifikasi/153-penentuan-definisi-klasifikasi-urban-rural
diakses pada 17 Maret 2013 21:07 WIB
[2] UU
No. 22/1999 tentang Pemerintah Daerah http://ditjenpp.kemenkumham.go.id
17 Maret 2013 21:13 WIB
[3] Bintarto,
R. 1984. Interaksi Desa – Kota dan
Permasalahannya. Jakarta. Ghalia Indonesia.
[4]
“Penduduk kota” http://nasional.kompas.com
diakses pada 17 Maret 2013 20:46 WIB
[5] Hasil
Sensus Penduduk 2010. BPS. http://www.bps.go.id/65tahun/SP2010_agregat_data_perProvinsi.pdf
Diakses pada 17 Maret 2013 21:16 WIB
[6] Yunus,
Hadi. 2002. Struktur Tata Ruang Kota.
Penerbit Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
[7]
Anjani, Eny dan Haryanto, Tri. 2009. Geografi.
Pusat Perbukuan Depdiknas
0 comments:
Post a Comment